Gadis itu baru berusia 21 tahun, dia belum genap mencapai gelar sarjana dalam hidupnya. Gadis itu merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Merupakan anak tengah, menjadikan gadis itu sudah terbiasa diabaikan. Tidak seperti sang kakak yang sangat di gadang-gadang menjadi yang terbaik bagi contoh adik-adiknya kelak. Atau si bungsu yag terus menerus disayang meski tak kunjung berbuah hasil kerja kerasnya. Gadis itu sudah terbiasa memiliki dunia sendiri. Gadis itu tumbuh bersama buku, jadwal les yang padat, dunia maya yang pekat. Gadis itu tumbuh bersama kesedihan akan ketidakpedulian kedua oragtuanya.
Gadis muda itu cukup pandai, karena hanya kepandaiannyalah yang mampu ia tunjukan dan ia banggakan di hadapan kedua orangtuanya, agar keberadaan gadis ini tersadar oleh orangtuanya. Tidak banyak yang gadis ini tau tentang cinta, karena ia tidak tumbuh dengan itu. Ia tumbuh dengan khayalan kisah percintaan yang ia dapat dari dunia maya. Ia tertawa dari novel komedi yang dibacanya. Ia terharu oleh postingan kesedihan peperangan yang ia lihat di berita.
Gadis muda ini diberi banyak keleluasaan dalam menjalani hidup. Entah ini merupakan keleluasaan atau ketidakpedulian yang ia terima, ia bahkan tidak ambil pusing untuk memikirkan hal itu. Gadis ini cukup pandai bersyukur, ia tidak gampang mengeluh. Karena pada siapa ia bisa mengadu?
Gadis muda ini belum cukup dewasa untuk melalui hari-hari di kehidupan dunia. Ia masih terlihat kekanak-kanakan. Ia bahkan tidak dapat melihat jernih tanpa kacamatanya, ia tidak bisa mengatur keuangannya, ia bakhan tidak tahu bagaimana berpacaran, bagaimana mengungkapkan perasaan pada orang lain.
Gadis muda ini masih mencoba bertahan hidup di usainya yang ke 21.